Jumat, 21 Maret 2008

SUMBER: HARIAN SORE SINAR HARAPAN (senin,3 November 2004)
Jika Pendidikan Dipandang sebagai Komoditas


Pengantar:
Globalisasi pendidikan menjadi isu menarik beberapa pekan terakhir ini. Forum Rektor Indonesia menolak dimasukkannya pendidikan dalam perundingan General Agreement on Trade in Services. Kebijakan tersebut dinilai telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas.
Bagaimana dampak globalisasi pendidikan di Indonesia, wartawan SH, Kristin Samah, Ruth Hesti Utami, dan Web Warouw menurunkan tulisan tentang masalah tersebut.

JAKARTA — Rencana pemerintah Indonesia mencantumkan pendidikan sebagai salah satu sektor yang akan diliberalisasi dalam kerangka GATS (General Agreement on Trade in Service) menimbulkan kecemasan di kalangan perguruan tinggi nasional.
Forum Rektor Indonesia (FRI) menilai hal itu akan membuat perguruan tinggi Indonesia terpuruk lantaran tak mampu bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi asing. Selain itu, FRI juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak segera membicarakan rencana itu dengan kalangan perguruan tinggi padahal masa penawaran GATS itu akan ditutup Mei 2005 nanti.
Di mata FRI, liberalisasi pendidikan memang bukan hal yang mengenakkan. Kekhawatiran bahwa liberalisasi pendidikan akan merugikan perguruan tinggi nasional bisa dimengerti menilik selama ini masyarakat kita telanjur menganggap semua yang berlabel luar negeri lebih baik dan lebih berkualitas daripada yang bermerek dalam negeri.
Sementara itu, jika liberalisasi pendidikan benar-benar diberlakukan, diperkirakan akan banyak perguruan tinggi asing yang tergiur menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Hal itu disampaikan Rektor Universitas Gadjah Mada dan Penasihat FRI, Sofian Effendi, kepada pers beberapa waktu lalu.
”Dari segi pragmatis, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia sekarang ini sudah mulai kekurangan mahasiswa. Karena itu, mereka ingin memperluas pasar ke negara lain.
Indonesia sendiri merupakan pasar yang menarik karena kita memiliki 30 juta penduduk usia perguruan tinggi (19-24 tahun) dan baru 13 persen di antaranya yang tertampung dalam 2.300 perguruan tinggi nasional,” ujar Sofian.

Bukan Komoditas
Untuk bersaing dengan perguruan tinggi asing, lanjut Sofian, jelas banyak perguruan tinggi Indonesia yang belum mampu. Banyak faktor ikut menentukan, di antaranya dana penyelenggaraan pendidikan, kualitas tenaga pengajar, dan sebagainya.
Kalaupun ada perguruan tinggi nasional yang sudah siap bersaing, jumlahnya tak seberapa. Karena itulah, lanjut Sofian, Indonesia lebih baik mengurungkan niat membuka pintu liberalisasi pendidikan.
”Level of play-nya belum sama,” paparnya menggambarkan ketimpangan antara perguruan tinggi nasional dan perguruan tinggi di negara-negara lebih maju.
Terlepas dari siap tidaknya perguruan tinggi Indonesia bersaing secara internasional, kalangan akademis juga mengkritik rencana liberalisasi pendidikan, karena pendidikan bukanlah komoditas perdagangan, dan karenanya tidak seharusnya dicantumkan dalam sebuah perjanjian dagang multinasional seperti GATS.
”Kita ini diminta bersaing secara profesional, tapi lalu berlebihan. Pendidikan jangan dianggap sebagai komoditas yang bisa dibisniskan. Itu yang harus kita tolak,” ujar Rektor Universitas Surabaya Wibisono Hardjopranoto.
Menanggapi keberatan kalangan perguruan tinggi nasional itu, Departemen Pendidikan Nasional—sebagai pihak yang berinisiatif menawarkan pencantuman pendidikan dalam GATS—tetap berpegang pada sikap semula. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Satrio Sumantri Brojonegoro, sejauh ini menyiratkan bahwa liberalisasi pendidikan tetap akan berlangsung.
Mendiknas Bambang Sudibyo berkeyakinan ada suatu cara di mana pemerintah tidak perlu menutup pintu rapat-rapat bagi perguruan tinggi asing, tanpa mengorbankan kepentingan perguruan tinggi nasional. Formula paling tepat untuk mengawinkan kedua kepentingan itu, menurut Bambang, adalah kerja sama antaruniversitas. Bambang bahkan menegaskan perguruan tinggi asing tidak diperkenankan masuk ke Indonesia, jika tidak dalam kerangka kerja sama dengan salah satu universitas nasional.
”Saya akan lihat bagaimana undang-undangnya, dan di mana saya masih bisa bermain, tetapi yang jelas saya tentu akan melindungi kepentingan nasional. Saya kira ada cara-cara dimana mereka bisa masuk, tetapi kita juga bisa mengambil keuntungan semaksimal mungkin. Itu ada caranya,” katanya.
”Di program Master Magister UGM, saya termasuk orang yang sering bereksperimen dalam hal kerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan asing, dan lumayan sukses melakukan itu. Saya kira ada caranya mengakomodasi masuknya lembaga pendidikan tinggi asing di Indonesia tanpa kita harus melarang mereka masuk secara frontal, tetapi kita juga tetap mengontrol mereka setelah mereka di sini,” ujarnya.

Tidak Beralasan
Sementara itu, Satrio Sumantri Brojonegoro ketika dihubungi Minggu (7/11) mengatakan kekhawatiran bahwa perguruan tinggi nasional tidak akan mampu bersaing jika liberalisasi pendidikan diberlakukan, pada dasarnya tidak beralasan. Yang masih mengganjal bagi Depdiknas, lanjut Satrio, adalah pencantuman pendidikan sebagai salah satu komoditas perdagangan.
”Tidak ada masalah sebenarnya. Saya rasa mereka bisa saja bersaing. Yang masih mengganjal adalah namanya, kok komoditas perdagangan. Kok nggak pas, makanya nanti kita lihat lagi,” ujarnya.
Pandangan Depdiknas tersebut, menurut Dirjen Kerja Sama Industri dan Perdagangan (KIPI) Departemen Perdagangan Pos M. Hutabarat, sangat menentukan urung tidaknya liberalisasi pendidikan diberlakukan. Rencana pencantuman pendidikan dalam GATS, lanjut Hutabarat, bermula dari usulan Depdiknas, dalam hal ini Ditjen Pendidikan Tinggi. Karena itu, urung atau tidaknya rencana itu juga tergantung pada sikap Depdiknas.
”Ketika itu, Ditjen Dikti mengatakan siap jika pendidikan masuk menjadi salah sektor yang akan diliberalisasi. Tetapi kalau Ditjen Dikti kemudian meminta ditutup, kita akan melaksanakannya,” kata Hutabarat.
Dalam GATS, tambahnya, anggota WTO diperkenankan mengajukan permintaan (request) dan penawaran (offer) untuk sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Pendidikan merupakan salah satu sektor yang akan ditawarkan pemerintah Indonesia untuk dibuka, selain keuangan dan kesehatan.
Masa pengajuan permintaan dan penawaran berakhir Mei 2005, sedangkan pembahasan mengenai GATS akan dilakukan dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Hong Kong, Desember 2005. (***)


nama:Nurhita Hendriatna
semester 2a pendidikan biologi
200741500041

Tidak ada komentar: