Selasa, 01 Juli 2008

SUARA PEMBARUAN DAILY
Pendidikan Manusia Indonesia Dilanda Krisis Nilai

[JAKARTA] Pendidikan manusia Indonesia sekarang ini dilanda krisis nilai yang sangat berat. Beberapa tahun belakangan ini banyak terjadi fenomena yang sangat mencoreng dan memalukan wajah manusia Indonesia.

"Masih jelas pada ingatan kita tentang pembongkaran kasus universitas fiktif dan jual-beli gelar beberapa tahun lalu," kata pemerhati pendidikan dari Universitas Indonesia (UI) Prio Sambodho kepada Pembaruan di sela-sela seminar "Membangun Indonesia Melalui Kewiraausahaan Sosial" di Jakarta, Senin (21/11). Pembicara lain dalam seminar itu, antara lain Dwi Tularsih Sukowati .

Dari penyidikan yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, 15.000 gelar palsu telah berpindah tangan sejak tahun 2000 hingga 2005. Data lainnya menunjukkan bahwa jumlah pembeli ijazah dan gelar palsu dapat mencapai 30.000 orang dari berbagai universitas fiktif tersebut. Gelar yang dikeluarkan meliputi 1.060 doktor, 288 PhD, 2.900 MSc, dan minimal 100 untuk beberapa gelar lainnya.

Untuk itu, dia mengimbau pemerintah melakukan reorientasi paradigma dan desain model pembangunan pendidikan. Semua model pendidikan harus diarahkan kepada pembangunan nilai dan budaya yang kuat. "Model pembangunan dan kebijakan semutakhir dan secanggih apa pun tidak akan berhasil bila tidak dilandasi oleh nilai dan kultur yang kuat. Sejarah telah membuktikannya dan kita sebaiknya belajar darinya, agar pendidikan kita menjadi education that educate, dalam makna yang sebenarnya," katanya.

Dijelaskan, model pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah masih berlandasakan pada pendidikan dengan model rasionalis, yakni model pembangunan pendidikan yang berorientasi pada standardisasi, formalisasi yang tinggi, dan birokratisasi yang ketat dan kaku.

"Model seperti ini banyak digunakan oleh pemerintah negara-negara berkembang karena dengan model ini pemerataan dan peningkatan kapasitas institusi pendidikan dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah," kata dia.

Paradigma pembangunan pendidikan seperti ini, papar Prio, berpotensi menimbulkan kesalahan orientasi pada arti pembangunan pendidikan. Selama ini, katanya, orientasi keberhasilan pendidikan selalu didasarkan pada banyaknya murid yang dapat dimasukkan ke dalam sistem pendidikan formal. "Selama angka tersebut terus meningkat, maka pembangunan dianggap telah berhasil. Institusi pendidikan kemudian dianggap sebagai suatu 'pabrik raksasa' yang akan mengolah secara massal orang-orang yang tidak berpendidikan menjadi berpendidikan hanya dengan menyelesaikan suatu proses yang sudah ditentukan, yaitu kurikulum pendidikan formal," terangnya.

Ironis

Sementara itu, Dwi Tularsih Sukowati yang juga berasal dari UI menyatakan pemerintah belum melaksanakan amanat UUD 1945 terkait pasal pendidikan. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. "Tetapi sesudah Indonesia merdeka selama 31 tahun, kenyataan yang ada sungguh ironis," katanya.

Dwi mengutip data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menunjukkan angka buta aksara penduduk Indonesia sampai dengan usia 15 tahun mencapai 12,1 persen, sedangkan angka partisipasi kasar pendidikan dasar sampai menengah atas, cuma 65 persen.

Dwi menambahkan amendemen UUD 1945 pasal 31 (ayat 4) menegaskan bahwa negara memprioritaskan dana untuk pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari total APBN dan APBD. "Tetapi kenyataannya pada 2006, pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana pendidikan sebesar 9,3 persen. Sedangkan tahun 2007 sebesar 10,2 persen dari total APBN. Inilah yang menjadi salah satu faktor mahalnya biaya pendidikan untuk masyarakat. Belum lagi masalah kesenjangan pendidikan antara pusat dan daerah," katanya. [W-12]
Sumber : Center of Moderate Muslim Indonesia.
Jihad Pendidikan dan Memberantas Kemiskinan

26-May-2006

Dalam beberapa dekade belakangan istilah jihad kembali berkumandang di dunia Islam. Dalam praktiknya, jihad diterapkan dalam berbagai bentuk. Namun sayangnya, pemahaman jihad belum tentu utuh sebagaimana dikehendaki ajaran Islam sendiri. Apalagi sejak isu terorisme setelah peristiwa 11 September 2001 lalu, pengertian jihad adakalanya terdistorsi tindakan yang berbentuk terorisme. Jihad dalam pengertian ini cenderung mengalami penyempitan makna...

Pemahaman jihad yang cenderung ekstrim ini sekarang melanda di Indonesia. Untuk lebih memahami apa sebetulnya makna jihad terutama dalam konteks masa sekarang, tim Suluh Nagari mewawancarai RB. Khatib Pahlawan Kayo, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat. Berikut petikannya:

Belakangan ini, di dunia Islam termasuk di Indonesia muncul sekelompok kecil gerakan Islam yang melakukan aksi–aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun, mereka menyebut aksi kekerasan itu sebagai jihad. Bagaimana tanggapan Bapak?

Sebelumnya kita harus melihat terlebih dahulu aspek yang mendorong aksi-aksi itu. Istilah terorisme sebenarnya muncul dari pihak lain yang cenderung ingin menyudutkan umat Islam, sehingga tindakan-tindakan yang tak sesuai dengan keinginan mereka atau yang merugikan mereka, pelakunya disebut teroris. Tapi di sisi lain penempatan istilah jihad juga tidak tepat untuk menyebut tindakan-tindakan segelintir umat Islam yang tidakannya merugikan orang banyak, karena tidak sesuai dengan tatakrama, bertentangan dengan hukum yang ada. Karena jihad itu dalam Islam memiliki batas-batas pengertian. Tidak semuanya jihad mesti diartikan perang, membunuh, apalagi merusak. Jihad itu mestinya mengarah pada perjuangan yang menuntut pada tegaknya kebenaran, keadilan, yang ujung-ujungnya adalah kemaslahatan. Lebih dari itu membuktikan, melalui jihad itu orang bisa menikmati Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin.

Jadi sebenarnya apa makna jihad?

Jihad itu adalah dalam rangka mewujudkan kesungguhan kita dalam berislam, dalam mewujudkan hakikat Islam itu dalam konteks perjuangan. Perjuangan itu ada dalam beberapa bentuk yakni perjuangan akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Jihad itu tak mesti tindakan-tindakan frontal, perjuangan melalui hati pun sudah bisa disebut jihad, misalnya berjuang untuk tetap istiqamah, ini adalah jihad qalbi atau jihad individual. Jihad kolektif bisa dilakukan melalui organisasi. Adanya upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai organisasi Islam untuk memberantas kemiskinan, itu juga jihad. Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan sekolah-sekolah, melakukan berbagai penelitian dan pengkajian, itu juga jihad. Jadi jihad itu punya pengertian yang amat luas dan nilai-nilai yang mendukungnya juga murni. Cuma orang-orang tertentu saja yang mengartikan jihad itu menjadi sempit dan ekstrim. Jihad dalam pengertian perang bisa juga dibenarkan sebagaimana Nabi pernah melakukannya tapi situasinya harus dilihat dengan benar apa alasan yang membuat peristiwa itu mesti terjadi. Itu hanyalah salah satu bentuk kecil dari jihad. Islam jauh lebih luas dari sekadar itu.

Tapi ada elemen-elemen umat Islam yang memahami jihad itu dalam pengertian yang cenderung berwajah keras. Membunuh orang yang dianggap musuh Islam (orang kafir) atau merusak tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat dipandang sebagai jihad. Padahal kita hidup di negara hukum yang mestinya dipatuhi. Bagaimana menurut Bapak?

Pemahaman dari kelompok-kelompok Islam yang seperti itulah yang tidak benar. Islam tak pernah mengajarkan cara yang seperti itu. Islam itu agama perdamaian, agama yang mengajak pada persaudaraan. Nabi sendiri dengan tegas menyatakan melindungi kafir zimni. Ini artinya, Islam menentukan dengan jelas ada koridor-koridor untuk suatu perbuatan. Ada aturan tentang kapan kita harus bertindak keras, dan kapan pula bertindak persuasif. Islam tak pernah mengajak orang pada keberingasan dan kebrutalan, karena Islam mengajak orang dengan dakwah. Perang di zaman Nabi itu adalah untuk menentukan mana yang hak dan batil. Kalau yang hak dan batil sudah jelas, Nabi menerima keanekaragaman hidup dalam bernegara dengan aturan hukum yang jelas, baik bagi umat Islam sendiri maupun umat lain. Itulah yang terjadi di Madinah. Umat Islam, Kristen, dan Yahudi merasa damai karena dipimpin oleh Islam yang benar. Islam yang benar itu adalah ya, Nabi Muhammad itu.

Bagaimana menyikapi sekelompok umat Islam yang cenderung ekstrim itu?

Memang perlu kerja keras dan bertahap. Kita harus senantiasa menyosialisasikan dan membumikan Islam yang benar. Dalam hal ini para ulama, intelektual, tokoh masyarakat dan pimpinan ormas-ormas Islam berperan. Itulah yang dicoba oleh Muhammadiyah dalam doktrin ajarannya selalu berusaha bagaimana kita ini menghormati hukum, tatakrama dan budaya yang berkembang di masyarakat. Makanya, sekarang yang dikembangkan adalah dakwah kultural. Bagaimana supaya yang dikembangkan di Muhammadiyah itu adalah kepribadian yang menjunjung tingggi harkat dan martabat manusia, membangun persatuan, saling tolong menolong, dan menghormati hukum yang berlaku di suatu negara. Mereka yang segelintir itu bukan berarti tidak memperjuangkan Islam yang benar, mereka memperjuangkan Islam juga. Tapi mungkin mereka tak lagi bisa bersabar melihat iklim yang tidak benar dan supremasi hukum yang tak tegak, korupsi yang menjadi-jadi dan jarak kehidupan antara yang kaya dan miskin itu terlalu jauh. Tapi saya yakin, tindakan mereka itu hanya akan berlangsung sementara sampai pada situasi mereka mulai bisa memahami orang lain dan masyarakat serta aparat pun mulai bisa memahami mereka yang segelintir itu. Saya merasa, itu lebih dikarenakan tekanan situasional, tetapi memang perlu usaha serius dari kita untuk mengajak saudara-sauadara kita untuk lebih jernih dalam menyikapi keadaan.

Dalam situasi sejarah hari ini, bagaimana kita mesti memaknai jihad itu?

Jihad itu harus diartikan dalam bentuk paling mendasar yakni kebersungguhan kita dalam rangka memperdayakan kehidupan masyarakat, umat, dan bangsa yang menuju pada peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Hari ini misalnya, ada kelompok- kelompok masyarakat yang kaya, tapi kekayaannya itu tidak memberi pengaruh pada lingkungan, ada kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan tapi kekuasaannya itu juga tak memberi pengaruh pada kebaikan masyarakat. Itulah yang membuat sebagian orang menjadi eksklusif dan individualistis sehingga nilai-nilai kemasyarakatan, nilai pergaulan yang lebih harmoni kurang teperhatikan. Kondisi ini memancing pemahaman jihad yang tidak benar.

Di Sumatera Barat kita bersyukur ada usaha dalam bentuk peraturan ke arah yang lebih baik, misalnya Perda tentang Pemberantasan Maksiat, Perda Kembali ke Nagari dan Kembali ke Surau. Sekarang bagaimana kita berjihad untuk bisa mewujudkan apa yang tertuang dalam Perda-perda itu. Kembali ke Nagari dan kembali ke Surau sebenarnya berarti bagaimana kita kembali membumikan Islam yang sesungguhnya. Islam yang membawa kepada potret kehidupan yang damai. Itulah jihad kita saat ini. Itu akan terbukti kalau kita berjihad dalam bidang ekonomi, berjihad dalam bidang pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Hal ini akan menampakkan karakteristik kita sebagai orang Minang yang benar-benar menjadikan Islam sebagai agama. Sehingga jihad orang Minang itu adalah bagaimana mengembalikan orang Minang kepada Islam. Seperti kata pepatah, mengembalikan siriah ka gagangnyo, mengembalikan pinang ka tampuaknyo. Untuk itu semua, kita perlu jihad dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan semua elemen masyarakat.

Yang terberat yang dihadapi umat Islam Indonesia saat ini adalah problem ekonomi dan ketertinggalan dalam bidang pendidikan. Bagaimana kita berjihad dalam kedua bidang ini mestinya?

Sistem pendidikan kita harus dirubah. Di samping penguasaan sains, mestinya pendidikan kita sekarang lebih diarahkan pada keterampilan dan keahlian. Tamatan perguruan tinggi itu semestinya menjadi sarjana yang benar-benar siap pakai. Dengan begini kita akan menghasilkan para sarjana yang lebih kreatif dan produktif. Dengan sistem pendidikan yang baik dan hasil pendidikan yang baik, akan berdampak pada perbaikan ekonomi. Pemerintah kita harapkan bisa memperbaiki sistem pendidikan yang tak hanya menghasilkan orang-orang yang sekadar punya gelar dan ijazah tapi adalah generasi yang mampu menciptakan lapangan kerja. Generasi terdidik yang bisa melahirkan karya nyata. Yang bisa meningkatkan produktivitas di bidang ekonomi. Sekarang di kampung-kampung dan juga di kota-kota banyak orang yang menganggur. Bukan hanya orang yang menganggur, tapi lahan juga banyak yang nganggur. Ini terjadi karena pendidikan kita tidak mengarah pada penciptaan dan produktivitas, sehingga nikmat alam yang diberikan Allah kepada kita jadi tidak termanfaatkan dengan baik.

Jadi mestinya jihad lebih fokus ke situ?

Ya. Berjihad memberantas kemiskinan dan berjihad meningkatkan mutu pendidikan. Sebab, semuanya bertolak dari sana.CMM